Hari raya selalu menjadi momen berkumpulnya semua anggota keluarga. Ibu, bapak, kakak, adik, lebih-lebih keluarga dari pakde dan bude beserta para sepupu.
Sudah tujuh kali hari raya, aku belum berkesempatan untuk merayakannya di tanah kelahiranku. Di tempat yang memberikanku beribu rasa aman dan tempat terciptanya memori-memori indah yang akan selalu menjadi kenangan tidak terlupakan.
Tak apa, begitu saja terus. Mungkin di hari raya-hari raya yang berikutnya, aku bisa pulang.
Salah satu hal yang paling identik dengan hari raya adalah kue. Dulu, ibu sering membuat kue untuk disunguhkan ketika hari raya tiba. Hari-hari itulah yang paling aku suka. Wangi kue semerbak memenuhi seisi rumah.
Sepertinya dari dulu aku selalu mempunyai ketertarikan terhadap makanan manis. Menjadi orang terdepan dan pertama yang paling bersemangat membantu ibu membuat kue lebaran. Mereka selalu tampak nikmat dan menggugah selera di mataku.
Kue semprit, kue salju, kue nastar, kue kacang, kue sagu, sampai kue bolu. Ibu mencatat resepnya di sebuah buku yang hanya ia buka ketika menjalang hari raya.
Bertahun-tahun kemudian, keadaan perlahan merubah cara ibu menghadapi hari raya.
Satu persatu, anak ibu mulai pergi merantau untuk mencari apa yang ingin dicari. Sehingga ketika hari raya, rumah hanya terisi tiga anggota keluarga.
Ibu mulai merasa kehilangan peminat kue-kuenya — adalah aku
Ibu adalah orang yang tidak bisa diam saja. Begitu peminat kue kuenya tak kunjung pulang, ia banting setir. Membuat jajanan gurih yang kini memiliki lebih banyak peminat
Kini, kue kue itu berubah nama menjadi kue rindu. Kue rindu adalah kue buatan ibu. Meski sering kutemui kue-kue itu di pasaran ketika menjelang hari raya, kue rindu tidak bisa memiliki rasa yang sama seperti yang ada di pasaran.
Suatu ketika, aku pernah bertanya kepada pemilik kue rindu
Bu, kenapa ga pernah bikin kue lagi kalo lebaran?
dan ia menjawab
Kalo kamu mau ya ibu bikin
Maksud ibu, “kalau kamu mau pulang ya bikin bersama ibu lagi” — mungkin