Melankolia Tinta Merah

Dandelion
5 min readMay 7, 2023

--

Senin pagi, kecerahannya tidak dapat menggambarkan diriku hari ini. Rautku dibuat sinis oleh tinta merah di buku matematika, padahal hasilnya 100. Jika melihat lembaran matematika di masa lalu, nilaiku selalu jatuh dibawah 50. Bentuk 100 dapat dihitung menggunakan jemari dan itu terjadi karena suasana hatiku yang tengah membaik. Meski 100, para guru ilmu berhitung tetap memperlakukanku layaknya siswi pembuat onar. Seperti apa yang telah dilakukannya tadi seusai menjelaskan sebuah materi. “Sampai disini ada yang ditanyakan?” ucap beliau. Satu, dua siswa sampai seisi kelas mempertanyakan hal yang tertera di papan. Hingga akhirnya, beliau mempertanyakan kepahamanku.

“Sashi, kenapa kamu diam saja? Kamu tidak paham ya?”

“Untuk apa mempertanyakan hal yang sudah saya pahami?” balasku.

Tawanya kecut mendengarku mengajukan pertanyaan kembali. Bukan maksudku membantah atau melawan, aku memang sudah memahami semua penjelasannya. Untuk saat itu aku sangat mengerti, tapi entahlah saat soal telah terpajang di depan netraku. Nanti akan ada beberapa orang yang mendadak menjadi pahlawan saat mendengar buruknya nilaiku. Ia datang membawa beberapa ucapan manis. Seperti, “Kamu bisa kok belajar bareng aku.”, “Kalau kamu kesulitan, kamu bisa minta bantuanku.”, “Jangan malu-malu kalau mau tanya sesuatu.”

Sesekali aku pernah mencoba beberapa tawaran itu. Kukira dia memang sebaik ucapan manisnya, ternyata dunia tidak boleh tersia-siakan begitu saja di tangannya. Setelah menjelaskan dimana letak kesalahan didalam soal, ia membuatku memahami penjelasan sepenuhnya. Selepas waktu dan jasa yang telah dikorbankan untukku, ia akan meminta imbalan berupa rupiah atau jasa lainnya yang sepadan pula dengan apa yang telah ia lakukan.

“Aku beri waktu satu minggu. Kalau tidak bisa, kamu akan aku pastikan tidak naik kelas.”

Tampak seperti mengendus aroma sesuatu dan kutanyakan,

“Apa kamu tidak mencium sesuatu? Sepertinya bangkai.”

“Hah? Dimana?”

“Disitu!” ujarku seraya memberikan lembaran uang didepan dadanya yang congkak dan tak tahu malu. Berdiri di belakang jabatan ibunya, berharap mendapat sanjungan yang tinggi dari dunia. Seharusnya ia malu memanfaatkanku dengan ancaman murahan, namun sayangnya rasa haus pujian itu menjulang lebih tinggi. Melihat ekspresi kesal yang ia tunjukkan, membuatku sadar bahwa diriku pun mempunyai banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki.

Lagi-lagi, ujian harian mendadak diadakan di siang bolong seperti ini. Berbagai rumus yang memakan banyak tenaga dan operasi yang tidak ada ujungnya. Meski berpikir keras, hasilnya tetap seperti apa yang sudah aku usahakan. Kadang ada seorang siswa yang masih mengeluh saat nilai matematikanya 90. Melihat itu aku semakin bertanya-tanya, “Kemudian, apa yang dapat ia syukuri?”

“Waktu habis, soal dikumpulkan sekarang.” Tiba-tiba saja waktu berjalan secepat kedipan mata. Aku tak dapat berbuat banyak, dengan berat hati kukumpulkan lembar ujianku di atas tumpukan kertas lainnya. Jujur, jika sungguh kuusahakan, waktu 60 menit saja tidak akan cukup. Maka jawabanku menyesuaikan dengan waktu yang telah disediakan. Sadar tidak memiliki persiapan yang cukup, aku menerima berapa pun yang akan diumumkan guru nanti.

Istirahat kedua telah di isyaratakan. Tidak ada hal yang ingin kulakukan, namun selembar kertas kotor berhasil mengalihkan perhatianku. Ia kutemukan tercecer dibawah kolong kursi panjang yang tengah kududuki. Tak ada bagaian yang sobek pada kertas ini, namun melihatnya di buang sia-sia aku terus berpikir untuk melakukan sesuatu padanya. Lembar kotor, keributan, kursi panjang, sendirian, terik, dan matematika. Ah, apa yang tengah kau pikirkan? Setelah memutarkan seluruh isi kepalaku, akhirnya aku mengambil kotak pensil berisi seluruh barang berhargaku. Tanpa ragu, coretan garis tipis memenuhi lembar kusam itu. Kurasa tidak perlu pensil warna, karena hitam putih telah banyak memenuhi gambaran hidupku.

Disaat coretan buruk itu hampir kuselesaikan, seorang lelaki dewasa datang menghampiriku. Ia mendekat dan melihat apa yang telah kugambar.

“Indah,” ujarnya dengan senyuman yang sangat lebar.

Fokusku tidak mudah dialihkan dengan pujian darinya. Namun saat ia menyodorkan secarik kertas baru kepadaku, batin ini mulai dipenuhi pertanyaan.

“Lakukan apapun yang kamu mau,” katanya dengan isyarat mata guna meyakinkanku.

“Kamu butuh uang berapa?” Ia tertawa sekencang-kencangnya saat mendengar pertanyaanku.

“Uangku sudah cukup banyak. Aku hanya minta kamu untuk menjadi dirimu sendiri, kali ini saja.”

Perasaanku ragu dengan ucapannya, namun aku tetap mengambil kertas itu guna menghargai pemberiannya. Anehnya, saat aku mencoba untuk mendekatkan ujung pensilku dengan kertas yang tampak bersih itu, rasa keraguanku hilang seketika. Tanganku bergerak mengikuti hati yang dipenuhi rasa sesal. Tiap-tiap garis menghasilkan sebuah bentuk, gradasi warna, dan makna yang begitu dalam. Lelaki itu tampak antusias menunggu hasilnya. Semakin lama, aku semakin terus merasa ada yang kurang dari gambaran ini.

“Sudah. Cukup,” lanturnya seraya menahan tanganku.

“Tapi matematika belum ada disini. Aku bingung ingin meletakkannya dimana,” bantahku.

“Untuk apa?”

“Ia bagian dari sesalnya hatiku. Katamu aku harus menjadi diriku sendiri bukan?”

Mendengar ucapanku, ia mengeluarkan pulpen bertinta merah dan menulis angka 100 di ujung gambar.

“Cukup?” tanya lelaki itu.

Menarik napas dalam-dalam dan kulihat lagi tinta merah yang tak pernah kuinginkan kedatangannya. Seburuk itu kah? Merasa menjadi manusia yang paling tidak berguna. Berusaha menjadi baik pun tidak selamanya berhasil baik. Lalu apa yang bisa kulakukan? Cukup merepotkan untuk dunia yang selalu menjadi sasaran alasan kesalahan ribuan umat.

“Gambaranmu bagus, untuk itu kuberi angka 100. Tinta merah adalah warna yang menggambarkan melankolia dalam hatimu.” Mendadak ia mengalihkankan sedikit kesedihanku.

“Benarkah? Tapi selama ini tidak ada yang mempercayai hasil karyaku.”

“Apa kamu pernah melakukan kesalahan? Biasanya sebuah kesalahan membuat seseorang menjadi sulit dipercaya,” tanyanya.

“Kesalahan? Apa aku salah mempunyai nilai matematika yang buruk? Apa aku salah telah melaporkan anak guru yang memeras rupiah berkedok kebaikan? Apa aku salah tidak mempunyai teman? Apa itu letak kesalahanku?”

Apalagi yang menjadi tempat pelarianku selain air mata? Tetesannya mengalir keluar tanpa ada rasa malu yang biasanya menghalangi jalan keluarnya. Rasa kesal dan sesal ini sudah tak bisa dibicarakan baik-baik.

“Cara kerja dunia memang seperti itu,” ujarnya.

“Jangan terus salahkan semesta, ia sudah bekerja sebagaimana mestinya,” sahutku.

“Namun percayalah kepadaku, bahwa setiap orang memiliki usaha dengan hasilnya masing-masing.”

“Bagaimana aku bisa mempercayai ucapanmu?” tanyaku dengan hati yang masih dipenuhi keraguan pada seseorang yang baru saja kutemui.

“Katakanlah ini hanya mimpi di siang bolong. Mimpi disaat kamu menantikan hasil dari ujian harian matematika, namun mimpi ini akan terus kamu ingat sebagai evaluasi diri di kehidupan mendatang. Ingat pula kataku ini.”

Ia mendekatkan sepasang bibirnya di telinga kananku. Membisikkan sebuah kalimat yang membuatku berpikir “siapa dia?”. Sebenarnya aku tak sepenuhnya mengerti dengan apa yang ia katakan, namun kalimat itu berhasil membuatku memikirkan maksudnya . Sampai ia meninggalkan selembar tisu untukku dan pergi berlalu begitu saja, perkataannya masih kucerna perlahan-lahan. Mungkinkah dia kembali?

Kriinggg……”

Ugh, ternyata aku tertidur sepanjang istirahat kedua. Jika suara bel tidak mengejutkanku, mungkin aku akan terus terlelap dalam mimpi yang…. Tunggu, apa aku telah melewatkan sesuatu? Rasanya seperti sebagian waktu yang telah kujalani, mendadak menghilang. Aw, kepalaku terasa sakit saat kupaksa untuk mengingat kejadian dalam mimpi itu.

“Sashi, min seratus.”

Berjalalan dengan kesadaran separuh utuh. Mimpi itu perlahan kuingat sebagian. Mengambil kertas ujian hasil dari usahaku. Memandangi angka 100 bertinta merah dengan pandangan yang sedikit rabun. Siapa sangka, warna merah itu membuatku ingat dengan jelas mimpi yang telah kulewati dengan singkat. Lelaki dewasa, kursi panjang di depan kelas, dan selembar tisu pertama yang kuterima darinya. Oh, sekarang aku memahamimu!

“Dari ujian harian ini ada yang ditanyakan?”

Aku adalah orang pertama yang mengangkat sebelah tangan untuk bertanya.

”Saya mau bertanya,” kataku. Teraut rasa penasaran dalam wajahnya.

“Ada berapa angka yang bila di jumlahkan menghasilakan angka yang sama? ” sambungku. Dahinya mulai mengerut.

“Banyak. 3 dengan 8, 1 dengan 9, 4 dengan 6, semuanya menghasilkan angka 10” jawabnya.

“Itu artinya dengan bodohnya saya di pelajaran ini tidak berarti saya tidak bisa melakukan apapun kan?” sahutku.

Dadanya membusung menahan amarah.

“Lakukan sesukamu. Miliki masa depanmu sendiri,” ucapnya dengan nada yang terdengar kesal.

“Kriiinnggg…..”

Bel tanda pulang telah berbunyi. Dengan terpaksa pelajaran hari ini harus diakhiri. Aku tak tahu apa yang ia rasakan setelah mendengar kecapan dari bibirku. Aku hanya memikirkan ucapan lelaki di mimpi siang bolongku. Ia membuatku berani menjadi diri sendiri dan keluar dari lingkar kesedihan. “Kini percayalah bahwa apapun yang akan muncul nanti tidak akan mengecewakan hasil yang telah diusahakan,” bisiknya pada telinga kananku.

--

--

Dandelion

tokoh dalam cerita ini berperan sebagai seseorang yang berusaha menjadi lebih baik