Rumpang

Dandelion
5 min readMay 7, 2023

--

Menyeka pilu menjadi kesibukkan akhir-akhir ini. Air mata tak henti-hentinya mengalir dalam setiap ingatan yang masih berlalu-lalang. Kenangan manis yang masih melekat, membuatku terjaga di malam yang begitu sunyi. Wangimu masih tertinggal pada bantal yang tak kau bawa pergi. Pada malam yang hujannya tengah turun dengan sangat riuh bersama suara guntur yang datangnya tak kira-kira, kau datang membawa setumpuk selimut sembari tersenyum menatapku yang tengah ketakutan. Tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk merengek, sekalipun aku benar-benar dalam keadaan tak berdaya. Meski luka sudah kututupi dengan sangat baik, kau tetap mengerti bahwa seberapa sakit rasanya aku tetap ingin terlihat hebat di hadapanmu. Kau menghampiriku dan ikut berbaring di sebelahku. Melebarkan selimut diatas tubuhku dan memelukku dengan dekapan yang hangatnya menjalar ke dalam hati. Berulang kali sudah kukatakan “aku baik-baik saja”, tetapi kau seolah tak mau tahu. Jemarimu yang halus nan lembut itu dapat terasa saat kau mengusap helaian rambut pada kepalaku.

Seketika gemuruh hujan dan petir seolah redam saat kau berkata “Terima kasih, ya. Sudah menjadi baik sampai sejauh ini.”. Mataku memang terpejam sebab larut dalam hangatnya pelukanmu, tetapi seandainya kau tahu bahwa hatiku saat itu tengah bersorak sorai karena bahagia sudah menjadi bagian takdir yang indah dalam hidupmu. Di saat yang bersamaan, pintaku terpanjat sangat dalam. Aku ingin terus hidup bersamamu dalam keadaan apapun, sebab hanya saat denganmu aku bisa menyembuhkan luka, membangun mimpi, dan mencintai diri.

Biasanya bulan menjadi saksi di tiap-tiap malam yang kita habiskan untuk menjadi lebih dekat seperti ini. Namun malam ini entah kemana perginya hingga hujan dan petir terpaksa menggantikan posisinya. Mungkin ada kehangatan lain yang tengah ia temani, atau mungkin ada yang bersorak bahagia juga, atau bisa jadi ia juga tengah didekap hangat oleh orang yang sangat ia cintai saat ini. Kehadiran bulan selalu menjadi pelengkap saat kita bersama, tetapi ketiadaannya tak menjadi masalah serius.

Setelah malam yang dingin, hari yang cerah menghampiriku di sebuah pagi. Kicauan burung membuatku semakin bergegas untuk menghadapi hari yang sudah kutunggu selama ini. Hari yang menentukkan seberapa besar hasil usahaku yang tidak seberapa sempurna. Matahari juga saksi yang tak pernah luput kehadirannya. Kala itu kau bersiap dengan riasan yang seolah tak mau kalah cantik denganku. Namun, kuakui kau memang lebih cantik. Entah mengapa aku merasa senyumanmu begitu sumringah dan bercahaya, seolah senyuman kali ini benar-benar berharga. Apalagi saat namaku dipanggil oleh pengeras suara yang begitu lantang dengan gelar yang disebut-sebut sebagai “cumlaude”. Matamu itu tersenyum penuh haru bahagia, hingga tak terasa pelupukmu sudah basah oleh air mata. Begitupun denganku yang gemetar saat rasa tak menyangka menyergap sela-sela pikiranku. Memang benar istilah “the future’s not our to see”. Beberapa hal memang tidak berada di bawah kendali manusia, seperti masa depan.

Aku memutuskan untuk mengambil gambar kita berdua. Dengan kilatan cahaya yang berhasil melukis senyumanmu yang indah itu, aku memiliki selembar kenangan yang tercetak dalam foto. Studio foto kala itu begitu ramai, hingga untuk keluar dari sana kita harus rela berdesakan. Padahal saat masuk tadi tidak seramai ini. Mungkin karena banyak wisudawan lain yang juga ingin mengabadikan momen yang tak dapat terulang lagi. Agak khawatir saat menggenggam tanganmu, aku melihat raut wajahmu yang agak menanhan sakit. Begitu keluar dari gerombolan antrian manusia, aku segera menanyakan keadaanmu yang sepertinya semakin tidak baik. Saat tangan kananmu meremas dada dengan sangat kuat, pikirku kau tidak memiliki riwayat asma. Namun, aku lupa bahwa kau memiliki hipertensi yang bisa menyerang kapan saja, bahkan di hari yang penuh dengan kebahagiaan ini. Meski kecemasan menyelimuti perasaanku, aku tetap berusaha tampak tenang dengan segera memanggil ambulan. Aku percaya kau akan baik-baik saja.

Hancur hatiku saat melihatmu terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit. Banyak selang yang terpasang pada tubuhmu. Suara detak jantung yang di salurkan melalui sebuah alat, memecah setiap keheningan yang aku lewati. Namun, lagi-lagi aku tetap ingin terlihat kuat agar kau juga kuat. Aku ingin kau tahu bahwa semua ini dapat kita hadapi bersama. Kini giliranku meyelimuti serta mendekapmu dengan pelukan yang hangat dan mengelus kepalamu dengan lembut. Meski matamu tertutup, aku tetap tersenyum agar kau dapat segera bangun untuk melihat senyumanku yang tak kalah manis denganmu ini. Jemarimu yang halus kutatap dan genggam dengan erat. Melihat itu pikirku melayang hingga penasaran, bagaimana kau bisa memiliki tangan selembut ini. Aku mengira ini karena kau telah menggunakannya untuk menyapihku selama 2 tahun, menuntunku saat masih tertatih, mengobati luka saat aku banyak terjatuh, sampai memasakkan makanan kesukaanku. Aku yakin, semua itu bisa melebih dari apa yang aku kira. Hal yang paling kuingat dari tangan lembutmu adalah disaat aku yang kecil berlari kepadamu sembari merengek karena perkataan seorang teman. Saat ia memamerkan selembar foto keluarga didepan kelas, aku mencoba bertanya tentang bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan sebuah gambar dengan pemandangan yang indah itu. Namun ia menjawab aku tak akan bisa melakukan foto keluarga sebab ayahku sudah tiada. Hatiku yang cukup tergores saat itu menangis di hadapanmu. Dengan lembut tanganmu mengusap air mataku yang bercucuran seraya berkata “Ayah tetap ada di hatimu dan kita masih bisa melakukan foto bersama”. Goresan yang ada di dalam hatiku perlahan-lahan sembuh. Kini hanya tersisa bekas luka yang tak dapat hilang bersama kenangannya.

Sudah lewat 3 hari, tetapi kau masih nyenyak dengan tidurmu. Memangnya mimpi apa yang membuatmu enggan bangun dan menemuiku? Seindah-indahnya mimpi yang pernah kulalui, aku selalu ingin segera menceritakannya kepadamu. Sebab katamu setiap mimpi yang diceritakan akan terwujud. Jadi, aku ingin kau segera menceritakan mimpi indahmu itu. Namun ketika kudengar dokter mengatakan “Maaf, Sayang. Ibumu harus pergi”, kupikir kau sudah lupa tentang mimpi buruk. Kau sangat tahu bahwa berpura-pura di hadapanmu adalah hal yang sangat tidak bisa kulakukan, apalagi menyambutmu pergi.

Tak dapat dipungkiri bahwa aku takut merasa kesepian seperti ini. Namun apa artinya bersama jika bukan dengamu. Sejauh ini aku terus menangisi selembar foto yang masih kugenggam sejak kepergianmu. Aku pikir kala itu bulan tak hadir sebab ia tengah menunggu seseorang datang ternyata ia tak mau merasakan kesedihan yang terlarut di malam-malam yang akan datang. Seharusnya aku dapat menyadari itu sejak awal, tetapi kini “seharusnya” hanya menjadi kata yang menggantung dalam angan-angan belaka. Jika dapat mengulang waktu, aku tak mau berpura-pura hebat di hadapanmu. Aku ingin berterus terang dan mengatakan bahwa dunia ini terlalu keras untukku seorang diri.

Hari-hari yang kulalui tanpamu sempat kupikir sebuah mimpi. Mimpi buruk yang kuharap untuk segera terbangun, yang kuharap tak pernah terwujud, yang kuharap segera berakhir. Ada sebuah rasa yang tak mau pergi, meski sudah kucoba untuk melupa. Rasa itu ketika kau melebarkan selimut untukku, mendekap hangat tubuhku dan, mengusap lembut kepalaku. Kini kusadari mengapa kau tersenyum dengan sangat indah pagi itu. Agar aku dapat berpikir untuk mengambil gambar kita bersama senyumanmu yang bercahaya itu. Kepergianmu semakin membuatku percaya bahwa hidupku memang selalu rumpang sejak awal. Meski ketika kuingat sebuah pinta di malam itu, tetap saja kau harus pergi.

Malam ini, malam yang tak pernah kubayangkan kedatangannya. Air mata membasahi ujung bantalku, tetapi hanya sepi yang menghampiri. Tak dapat lagi kutemukan pelukan yang hangatnya menjalar hingga ke dalam hati. Tiap malam yang kuhabiskan seorang diri, aku selalu tertidur lebih awal dengan harapan dapat melihatmu lagi saat pagi telah tiba. Namun, yang kudapati adalah sepasang mata yang sembab dan kecil karena terus menangis semalaman. Padahal tadi malam aku memimpikanmu. Katanya mimpi akan terwujud, nyatanya mimpiku tetap semu. Mungkin karena aku tak memiliki tempat untuk menceritakan mimpiku. Terkadang terlintas dalam benakku, apakah luka ini dapat perlahan sembuh seperti goresan dalam hatiku saat kecil dulu. Namun ini bukan sekedar goresan dan kau tidak ada di sisiku.

--

--

Dandelion

tokoh dalam cerita ini berperan sebagai seseorang yang berusaha menjadi lebih baik